Best views

Senin, 30 Januari 2012

Menjadi Padi




“Ya ampunnnn... Kirain karya kakak, nggak tahunya kopi pasti. Beh...!! Gayanya!”

Kalimat itu mengagetkan aku ketika membaca komentar pada salah satu catatan yang aku tandai ke seorang teman Facebook. Bukan mengikut iklan Xl di TV, tetapi aku mengenalnya memang melalui dunia maya. Bukan secara tatap muka.

Dia tiba-tiba saja memintaku untuk berteman. Sepertinya dia baru mebuat akun baru. Kelihatan dari dinding profilnya yang masih kosong. Tak ada foto satupun yang menunjukkan rupanya sebagai pemilik akun. Foto pertama yang dijadikan foto profil gambar seorang anak perempuan berbalut mukena putih sedang berdoa setelah mengaji.

Ia memanggilku ukhti. Kaget juga. Mengingat aku tak ada potongan sosok akhwat sedikitpun. Akhwat, dalam bahasa Arab memang berarti wanita. Tapi akhwat bagi sebutan untuk bahasa pasaran di Indonesia malah lain.

Kata akhwat identik dengan wanita berjilbab lebar, gemar ikut pengajian dan memiliki sifat yang santun. Meskipun sekarang ini tidak banyak yang memiliki sifat yang santun. Malah akhwat yang aku kenal kebanyakan menyebalkan.

Nah, kembali ke cerita tadi. Sebut saja namanya Hasmar (bukan nama sebenarnya). Ia kerap mengomentari status yang aku buat dan akupun sebaliknya. Kami bahkan sudah masuk ke tahap saling curhat masalah pribadi. Kecuali dua hal, masalah keluarga dan masalah asmara. Tentunya Hasmar bukan teman yang asyik untuk berbagi kisah asmaraku. Sampai ketika kepercayaan itu sama-sama tertanam di hati kami, nomor hape pun bertukar.

Sempat smsan dan teleponan juga. Apalagi saat teman sekamarmu butuh buku untuk referensi skripsinya. Hanya Hasmar yang punya. Pembimbing skripsi temanku juga sangat dekat dengan Hasmar. Klop sudah. Hubungan kami berlanjut.

Sampai aku jarang mengisi pulsa untuk modem karena keterbatasan uang sekarang. Aku jarang online dengan modem. Kalau aku ke warnet, aku lebih suka main game, download lagu, upload foto atau browsing. Lupa untuk mengkomentari status teman-teman dan lainnya. sejak itu pula hubunganku dengan Hasmar yang akrab mulai merenggang.

Aku sering menandai Hasmar dalam catatan dan informasi apapun. Selama ini ia hanya menyukai saja. Baru pada catatan yang berjudul “Cerpen: Mas Salah” yang ia komentari.

Hasmar bukan satu-satunya orang yang berkata seperti itu. komentar sinis dan miring kerap aku dapatkan. Terkadang aku berpikir untuk mengumbar-umbar saja bahwa aku seorang penulis, sudah punya antologi sebanyak tiga buah. Karyaku sering masuk nominasi, dan lain-lain. Bla bla bla.

Itu tidak penting! Mengingat orang-orang yang mengetahui apa profesi dan bakatku saja sudah buat aku sakit kepala. Saat aku tidak produktif akibat terserang penyakit malas dan mandeg. Di luar sana orang-orang membicarakan aku. Nah, sepertinya lebih tepat menjadi padi. Semakin berisi semakin merunduk.

Di dukung oleh kalimat lainnya, “Makin tinggi pohon, makin kencang angin meniupnya”. Dalam hal-hal tertentu mungkin tidak ada masalah, tetapi dalam banyak hal, hati kita sempat teracuni juga untuk tidak menjadi padi alias menyombongkan diri.

Banyak orang yang menganggap kita sebagai sampah masyarakat. Padahal kita punya kredibiltas dan kreativitas tanpa batas.  Ya, begitulah hidup. Kadang disanjung, tak jarang di depak. Saat itu pula aku berpikir bagaimana caranya bertahan dalam angkara murka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar