“Kemana akai?” Teriakku di kamar. Wajahku panik dan keringatku mengucur di pelipis. Dua orang saudara kandung yang tengah khusyuk di depan TV hanya menoleh kemudian konsesntrasi penuh lagi ke depan TV.
Akai dalam bahasa Aceh berarti akal, sementara dalam bahasa Jepang berarti merah. Akai yang aku maksud ini adalah warna merah. Ya, ini nama untuk sprei yang aku beli secara online dengan harga 600 ribu.
“Akaiiii...” Teriakku lagi.
Mereka masih ngadem di depan TV. Nggak peduli dengan teriakan panikku. Kubuka lemari, tumpukan bantal di kasur dan di setiap sudut yang kitra-kkira berpotensi tempat akai bersembunyi. Dimana, dimana, dimana?
“Aku miskol ya kak?” Kata seorang di antara dua makhluk Tuhan itu.
Awalnya aku cuek saja. Menganggap mereka hanya bercanda. Tapi begitu melihat ponselku berdering dan suara Katy Perry mengalun, baru aku sadar. Mereka salah mengerti. Dia pikir akai itu nama hape Samsung-ku.
“Itu murasaki” Teriakku masih tetap panik.
“Oh, murasaki ya? Jadi akai itu apa? Kotak pensil? Laptop?”
“Bedcover yang komplet sama spreinya”
Aku sukses menangis. Siapa yang tega mengambil akaiku. Semoga ia disediakan tempat istimewa di neraka.
Pasti tak ada yang tahu kalau akai itu bentuk kenangan terakhirku di Fakultas Dakwah. Akai aku beli dengan harga segitu. Padahal harga aslinya tidaklah semahal itu. Hanya seratus sekian, kalau tambah bedcover-nya juga Cuma dua ratus sekian. Lho? Kok 600 ribu? Ya, karena mahal di ongkos kirim.
Bagi sebagian orang sayang sekal uang sejumlah setengah juta lebih itu untuk sebuah sprei. Padahal aku bisa membeli dua atau tiga buah sprei lagi yang bagus malahan. Tapi aku suka sekali dengan motifnya, makanya aku membeli si akai ini.
Begitu aku mendapat beasiswa, sprei ini langsung aku order dan aku jadikan penghuni lemari yang paling aku sayang. Karena akai adalah isi lemariku yang paling mahal.
Kuraih hapeku, aku mengetik sms untuk seseorang. Akai hilang. Hiks.
Kirim.
Sekitar lima menit kemudian sms balasan masuk ke hapeku. Dari seseorang itu.
Akai?
Ya ampun...!!
Orang terdekat saja tak tahu siapa akai. Aku jelaskan padanya bahwa akai adalah sprei kesayanganku. Selimutnya hilang barusan. Di kamarku.
Sedikit panik aku membuka pintu ruang tamu dan menuju ke teras. Ingin menangis di sana. Tapi aku melihat apa yang tak harusnya akau lihat.
“Akaiiiii!!!” Pekikku.
Sprei itu dengan manis bertengger di jemuran. Baru ingat, ternyata aku menjemur Akai pagi tadi untuk menghangatkannya. Tujuannya biar tidur nyenyak malam ini.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus