Best views

Kamis, 19 Januari 2012

Mau Dibawa Kemana?


Tolong lihat aku, dan jawab pertanyaanku, mau di bawa kemana hubungan ini? (Armada Band-Mau Dibawa Kemana).

Siapapun pasti kenal lagu yang sempat menjadi hits di blantikan musik tanah air. Band yang dulu bernama Kertas Band berganti nama menjadi armada dan mengusung lagu ini menjadi deretan papan atas lagu Indonesia.

Yups!

Tapi bukan Armada Band yang ingin saya bahas dalam catatan ini. Bukan pula isi lagunya yang bercerita ‘cinta digantung’. Dalam catatan ini saya hanya ingin bercerita paradigma kebanyakan orang terhadap orang lain. Sederhananya, tentang tanggapan seseorang kepada saya dan latar belakang pendidikan saya.

Sejak terompet dibunyikan dan tahun berganti, saya mulai menulis resolusi yang ingin dicapai pada tahun ini. Salah satunya mulai menjalin komunikasi dan silaturahmi dengan teman-teman lama.

Resolusi itu baru bisa saya mulai ketika pertengahan Januari 2012. Beberapa hari ini, saya mulai mengirimkan pesan sapaan pada teman-teman sekolah dan kenalan di luar itu. Awalnya saya ragu, apa mereka masih mengenal saya atau tidak.

Alhamdulillah, responnya positif. Mereka masih mengenal saya dan karakter enerjik dan ceria saya ketika duduk di bangku sekolah. Mereka juga menyebut satu kesannya bersama saya. Ada yang sebatas hari itu saja, ada pula yang berlanjut sampai beberapa hari kemudian.

Salah satunya Nazir, dia banyak bertanya soal kehidupan saya sekarang. Mulai dari kisah hidup di perantauan sampai urusan cinta. Di antara banyak teman-teman seangkatan yang sukses, saya termasuk orang yang gagal. Bagi dia, sukses itu punya pandangan sendiri, yaitu jadi PNS dan sudah menikah. Semnetara saya belum memiliki keduanya.

Awalnya saya tak merespon hal ini. Lama-kelamaan saya menemukan perbedaan cara berpikir antara saya dan dia. Antara dia dan kebanyakan teman-teman saya.

Dia bertanya kenapa saya masih di Banda Aceh. Sementara saya sudah selesai kuliah dan menurutnya sudah tiba saatnya untuk kembali ke Takengon, tempat saya dibesarkan. Nah, saat itu saya kebingungan harus menjawab dengan kalimat apa. Tentunya dengan kalimat yang tidak mengesankan kesombongan dan tetap damai.

Jawaban saya sepertinya ditanggapi dengan ‘Aku masih pengangguran sekarang’. Karena pertanyaan selanjutnya dia bertanya seperti ini, “Kenapa kamu nggak mulai mengajar?” Tanyanya.

Awalnya saya terpikir untuk berkata, “Saya sudah mengajar”. Tapi tentu saja bukan itu jawaban yang di harapkannya. Saya tahu, kebanyakan orang akan bertanya berapa bayaran yang saya dapatkan dari saya mengajar. Saya tidak suka jika pertanyaannya menyangkut masalah gaji.

Saya katakan saja bahwa saya bukan alumni dari FKIP atau Tarbiyah. Tapi saya tamatan Komunikasi.

Agak lama dia menanggapinya lagi. Ia menyarankan saya untuk mengambil akta IV. Alasannya biar saya bisa mengajar. Setahu saya, biaya akta IV itu mahal. Mungkin saya bisa mengambil pendidikan strata dua saja yang lebih spesifik dari ilmu yang sudah saya miliki sekarang. Saya bahkan berencana untuk mengambil master bidang komunikasi massa atau jurnalisme sastrawi.

Tiba-tiba dia mengeluarkan kalimat yang aku tak percaya keluar dari mulutnya. Seorang sahabat lama yang terkenal sangat bijaksana dan rendah hati.

“Kalau nggak ngambil akta empat, memangnya ijjazahnya mau dikemanain? Nggak terpakai juga kan?”

Jreng!

Spaning saya naik dan serentetan kalimat saya ingin termuntahkan segera. Sayangnya saya masih berpikir sepuluh kali lipat untuk membalas kata-katanya.

“Kerja kan tidak mesti jadi guru Nazir” Jawabku sambil tersenyum. “Komunikasi orientasinya ke humas, bidang-bidang ke masyarakatan dan sejenisnya. Kalau jadi PNS ke humas, sementara kalau swasta banyak orientasinya” Rasanya ingin aku jelaskan lebih panjang lebar lagi.

Jika pertanyaan dan tanggapannya seperti itu, rasanya percuma menjelaskan panjang lebar. Bukan khawatir dia tidak mengerti, tapi takut bukannya menjalin persahabatan. Melainkan menjalin permusuhan yang lebih parah.

“Kalau begitu, kenapa nggak nyari kerjaan di swasta saja daripada nggak jelas gitu?”

Gejreng....!!!

Tambah kaget mendengarnya. Apa aku harus mengatakannya? Aku agak kaget mendengarnya.

Sepertinya orang ini memang perlu menyombongkan diri dengan cara yang lebih halus, “Alhamdulillah di situ juga. Udah semenjak kuliah di semester empat dulu”.

Hasilnya? Dia mengakhiri pembicaraan tanpa respon apapun.

Seorang perantauan (khususnya perempuan) tidak akan bertahan hidup di kota orang tanpa tujuan. Mau tidur, makan dan nyantai? Nggak bisa tanpa uang di tangan. Tempat tinggal butuh uang. Makan buth uang. Bahkan untuk ketemu teman saja butuh uang.

Kalau bertahan di Banda Aceh tanpa ada tujuan hidup, sepertinya itu bukan saya benget. Tampaknya teman saya ini tak emnegrti itu. Setelah dia menjadi tenaga honorer di sekolah kami dulu, ia mlangsung mengklaim kalau pekerjaan itu hanya guru.

Aneh memang.

Tapi itulah fakta yang paling sering terjadi sekarang. Kalau bukan guru seolah bukan pekerjaan. Kalau belum pakai seragam PNS seolah semuanya bohong. Nggak bekerja.

Pertanyaan ‘Mau dibawa kemana ijazah itu?” bukan sekali dua kali ditanyakan. Banyak orang-orang yang bertanya hal yang sama. Mungkin karena kami tinggal di Aceh makanya prospek yang dilihatnya sedikit. Tapi setidaknya pertanyaan itu tidak perlu dipertanyakan.

Pekerjaan, terkadang bukan terletak pada ijazah keluaran kampus mana dan fakultas apa. Semua tergantung kepada dirinya sendiri. Kreativitas dan bagaimana cara dia mempertahankan hidup untuk masa depannya, itulah yang perlu dipertanyakan.

Mau kuliah di kampus nomor satu di dunia, fakultas nomor sat dan IPK 4 skala internasional pun sama saja. Jika semua itu tidak dibarengi oleh inovasi dari personal si pemilik ijazah. Mengandalkan dibukanya peluang PNS itu kecil sekali. Satu lowongan untuk seribu pelamar.

Sepertinya para penguasa negeri juga harus bijak mengatasi pertanyaan ‘Mau dibawa kemana?’ ini. 

Dalam hal ini, saya malah bingung sekali ingin menjawab apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar