Best views

Senin, 12 Desember 2011

Resiko Bisnis

“Apa?! Aku nggak pesan kok” Kalimat itu bagai petir di siang bolong ketika aku menelepon seorang teman. Seminggu lalu, di akhir November 2011 dia memesan eyepencils warna hitam putih. Satu pensil memiliki dua warna.

“Oh, ya..?! Ya udah deh nggak apa-apa” Kataku lesu begitu mendengar pengakuannya. Pengakuan? Tepatnya mungkin penegasan dan jawaban.

“Memangnya kemarin itu aku bilang pesan ya kak? Sepertinya nggak, deh” Ujarnya lagi. Mungkin antara merasa tidak enak dan ragu untuk mengambil barang pesanan yang terlanjur datang. Sementara isi kantong harus diselamatkan sampai akhir bulan.

“Iya, sih. Tapi kalau kamu nggak ambil juga nggak apa-apa, kok. Aku kan bisa pakai untuk sendiri. Eyepencils putih itu memang aku butuhkan. Ya udah, deh. Nggak apa-apa ya. Makasih yaa..”

Klik!

Aku menutup telepon dengan kesal.

Jelas dia memesan eyepencils itu. pakai acara tawar menawar lagi. Tidak mau membeli dengan harga yang tertulis di katalog lagi. Minta diberikan harga member yang diskonnya mencapai 20 persen lagi. Waktu itu aku langsung memberi harga setengah harga keanggotaan. Sepuluh persen aku rasa cukup untuk sesama teman kos.

Celakanya!? Dia malah membatalkan pembelian setelah barang aku pesan dan sudah di tanganku. Padahal malamnya aku sudah mengirim sms padanya. Aku mengkonfirmasi apakah dia jadi membeli eye pencils itu atau tidak. Tapi dia tidak membalas sms itu. paginya aku langsung memesan.

Hari itu aku rugi 23 ribu rupiah.

Untungnya, malam itu temanku datang dan menyatakan ingin membeli eye pencils night glow dan goddess green. Alhamdulillah ya...  (baca: gaya Syahrini), yang night glow laku malam itu juga.

Dalam hati, aku bersyukur. Kalau kita mengikhlaskan sesuatu memang ada hikmahnya. Sabar itu buahnya manis. Ya, manis sekali. Aku malah dapat tambahan order sebanyak dua produk lagi.

“Barangnya baru ada hari Senin. Gimana? Hari Senin aku baru ke toko itu lagi” Kataku. Ini juga strategi bisnis. Hari Senin sebanyak 13 buah tender care pesananku datang. Jadi sekalian membeli barang baru dan mengambil pesanan kan lumayan. Hemat di ongkos.

Nyatanya?!

Senin siang yang cerah. Langit mulai mendung saat aku pulang ke rumah dan menemukan dua orang teman sekosku (dua saudara) tergeletak berdaya di depan TV. Siaran gosip Syahrini jalan-jalan ke Jepang membentuk senyum di wajah keduanya. Si adik sedang berdandan dan bersiap ke kampus.

“Dek, kamu jadi nggak beli tender care itu?” Tanyaku pada si kakak.

Gadis itu menggeleng dengan ekspresi datar. Aku terdiam. Dua pesanan sekaligus batal. Kerugianku bukan hanya 23 ribu seperti empat hari lalu, tetapi Rp. 15.300 x 2 = Rp. 30.600 sekaligus.

Ow, ow, ow...!!!

Kali ini aku bukan tidak mengkonfirmasi. Tetapi aku juga mengkonfirmasi dia. Ya, mungkin bukan rezeki saja dan aku terlalu memaksakan ambisi untuk mengejar point. Terpengaruh dengan komunikasi persuasif si kakak Mandarin di toko Halim itu.

Malam yang sama dengan si pemesan (nama dirahasiakan-red) eye pencils itu, aku juga mengkonfirmasi dua bersaudara ini. Keduanya sempat terdengar berdiskusi dengan suara pelan. Kamar kami bersebelahan, tapi suara mereka yang rendah itu terdengar jelas di kupingku. Dinding kamar kami hanya berbatas triplek.

Si adek sempat memarahi kakaknya, sementara si kakak hanya berkata lirih, “Nggak usah dibalas”.

Esoknya aku langsung memesan 13 buah. Sempat aku cancel satu buah dan menggenapkan 12 buah saja. Kakak mandarin itu langsung memberi kode dengan mengggerakkan telunjuk di depan wajahku.

“Jangan, jangan, jangan. Tender care ini meskipun harganya murah point-nya tiga. Kamu bisa menambah point lewat tender care saja. Sepuluh buah tender care bisa meningkatkan point cukup tinggi. Tiga kali 10 jumlahnya sudah 30, lho.” Katanya meyakinkan.

Aku terpengaruh.

Dalam hati aku berpikir positif, tidak apalah mengumpulkan empat buah tender care. Pastinya aku bisa memakai untuk sendiri. Untuk siku, kaki, tangan dan bibir. Meskipun aku selalu menggunakan di tempat lain. 

Hanya bibir yang aku ingat.

Jawabannya siang ini menyadarkan aku bahwa aku gagal mendapatkan keuntungan sembilan ribu empat ratus rupiah. Ya, mungkin belum rezeki. Walaupun modal untuk membeli itu aku ambil dari tabungan untuk pengurusan paspor dan visa (ehem!), tidak apalah. Semoga ada yang terbuka hatinya untuk membeli tender care itu dan aku akan menjualnya dengan harga sesuai katalog. Setidaknya itu modal awal untuk aku berkembang.

Pelajaran bisnis bulan ini cukup simpel.

Ini juga penting buat pembaca yang kebetulan lewat dan baca artikel ini. Khususnya bagi yang punya bisnis penjualan melalui katalog dan order dulu. Pastikan atau konfirmasi si calon pembeli tentang pesanannya. Apakah jadi membeli atau tidak. Pikiran manusia seperti harga barang yang tertera di toko, bisa berubah swaktu-waktu.

Jika tidak ada konfirmasi seperti sms tak berbalas atau telepon tak diangkat, jangan pesan dulu. tunda pemesanan dan pastikan lagi. Hal ini untuk mengatasi kerugian kita sebagai pemesan. Barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan dan kita juga tidak bisa memaksa calon pembeli membeli barang yang sempat mereka pesan.

Pemaksaan bisa merugikan diri kita sendiri. Selain nama baik kita buruk di depan pelanggan dan teman-teman. Kita juga di cap tidak baik. Orang-orang malah jadi takut belanja pada kita. Jadilah orang yang menyenangkan dengan sabar dan tidak memaksa.

Ambil hikmah di setiap kejadian. Seperti kalimat yang sering aku ungkapkan di depan kelas saat matakuliah Komunikasi Bisnis, “Yang namanya bisnis itu ibarat kita berkendaraan. Penuh resiko. Kita lambat, ditabrak. Kita cepat, menabrak. Karena bisnis itu seni, kendalikan sikap.”

Saat ini, aku sedang belajar melakukan apa yang aku tuliskan di atas. Semoga kita berhasil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar