Di tulisan ini aku tidak mengutarakan apa itu komunikasi bisnis. Seperti penjelasanku di tulisan pertama, blog ini berisi unek-unekku saja. Untuk artikel yang berisi informasi dan pengetahuan, silahkan kunjungi blog www.sakura-note.blogspot.com. Di blog itu akan banyak sekali informasi dan manfaat yang Anda peroleh.
Tulisan ini lahir oleh pemikiranku selama satu minggu belakangan di awal Desember 2011 ini.
Awal Desember, seorang teman yang sudah seperti adik sendiri datang ke rumah. Ia mambawa katalog Sophie Martin.
“Dilihat-lihat, kak. Boleh cicil untuk tiga bulan” Katanya.
Sebagai bentuk penghargaanku atas usahanya, aku mengambil katalog itu dan membuka-buka tiap halaman. Baju, tas, dompet, sandal dan aksesoris mempengaruhi naluri wanitaku. Beli tidak ya?!
Beberapa outfit aku catat di selembar kertas. Ada sebuah dompet yang menarik hatiku, sebuah tas yang cocok aku gunakan untuk ke kampus dan terlihat elegan di depan mahasiswa dan aksesoris yang oke punya kalau berpadu dengan blazer-blazerku. Tapi isi dompet kering kerontang untuk satu semester ke depan11.
Huft!
Imanku tergoda juga. Aku juga keanggotaan di Sophie Martin. Kalau aku beli, pastinya bisa menggunakan ID sendiri. Diskonnya lumayan, aku tidak perlu membayar seperti harga di katalog. Kalau ambil sekarang, aku tidak punya uang cash dan beli sama temanku ini bisa cicil tiga kali pembayaran untuk tiga bulan. My god! Ini dilema.
“Katalognya ditinggal saja ya. Mana tahu ada teman-teman kakak yang mau ambil. Kalau orangnya bisa kakak percaya, boleh deh sama kayak kakak. Tiga kali pembayaran. Tiap awal bulan ntar setorannya. Ntar pas barangnya datang bayar 50 ribu dulu.” Katanya lancar.
Meskipun dia seorang perawat, naluri bisnisnya oke juga. Namanya Wisda, sepertinya dia berbakat jadi presenter bisnis. Selain cantik, dia punya apa yang orang-orang bisnis inginkan. Cara mempengaruhi orang lain.
“Iya. Ntar kalau ada yang mesan kakak kabari, ya” Kataku sambil tersenyum. Dilema masih bergelut di pikiranku. Beli, tidak, beli, tidak.
Sepulangnya Wisda dari rumahku dan mengatakan akan kembali seusai jam kelima kuliah, seorang teman datang. Dia langsung mengambil katalog dan melihat-lihat produk yang ditampilkan warna warni itu.
“Baru ya?” Tanyanya sambil membalik ke sampul majalah.
“Iya. Kata yang punya boleh cicil tuh. Tiga kali bayar untuk tiga bulan.” Kataku menyambung lidah Wisda.
“Serius nih, Fa?” Ia memastikan.
“Serius...!!”
Dia membolak balikkan majalah itu sampai empat kali. Di salah satu halaman yang menampilkan tiga warna blouse, ia terhenti.
“Bagus banget. Aku suka ini. Menurut kamu gimana, Fa?” Ia meminta pendapatku.
Terdorong rasa tidak enak dengan Wisda, aku mengiyakan. Sebenarnya baju itu memang bagus, sih. Aku suka model ujung tangannya. Tapi untuk model masih banyak yang lebih bagus dan modis. Soal merek, bolehlah...
“Bagus. Kamu mau warna apa?” Tanyaku lagi. Ini salah satu strategi untuk mengikat calon pembeli. Wew! Bukannya mau ngomong aku ahli bisnis, tapi kebanyakan kita sering terjerat dengan pertanyaan itu.
“Aku suka warna nila dan hijau. Owh... Kayaknya bukan hijau deh, Fa” Ia mengamati lamat-lamat warna baju itu.
Bukan hijau?
Aku ikut memperhatikan warna itu. ya, memang bukan hijau. Tapi tosca, alias hijau agak biru-biru gitu. Tapi orang-orang tetap saja mengatakan hijau tosca.
“Tosca saja. Manis banget warna tosca”
Ia mengangguk.
“Aku pilih ini Fa. Pesannin ya.”
“Oke deh. Aku sms dia sekarang ya?!” Aku mengambil ponsel dan mengetik sms untuk Wisda. Dek, ada yang order nih.
Tidak lama kemudian pembahasan kami tidak lagi pada katalog itu. tapi pada produk kosmetik yang sebelumnya sempat aku ceritakan juga. Sms Wisda masuk, oke deh kak. Ntar pulang kuliah Wisda mampir ke rumah kakak lagi. Ambil majalah sekalian ya.
Ya, sesuai dengan janjinya. Menjelang magrib dia datang ke rumah. Mengambil katalognya dan mengorder pesanan itu.
Perjanjiannya satu minggu. Tapi tidak sampai satu minggu baju itu sudah sampai. Temanku itu memang ngotot ingin pakai tiga hari kemudian, untuk menghadiri pesta kawinan teman katanya.
Dia datang dengan tergesa dan tersenyum lebar.
“Fa, tahu apa dirimu? Aku baru ingat kalau aku nggak punya jilbab warna itu. Aksesorisnya aku pakai apa?” Serunya seperti orang panik.
Jantungku berdegup kencang. Jangan bilang dia nggak jadi mengambil pesanan. Atas dasar rasa nggak enak, aku harus bayar ke Wisda. Alasannya aku yang bertanggung jawab atas pemesanan ini.
“Eum, masa sih? Tapi bagus lho baju itu” Kataku menyemangati.
Ia mengambil plastik pembungkus pakaian dan membentangkan baju itu. Segera ia masuk ke kamarku dan mencoba blus warna tosca itu. cocok sekali. Manis. Walaupun terkesan sangat sederhana untuk menghadiri pesta pernikahan yang identik keglamoran.
“Jilbabnya, Fa. Jilbabnya..” Ia tampak panik.
“Aku punya jilbab warna tosca. Sepertinya cocok” Kataku. Naluri penyelamatan untuk teman muncul.
Aku masuk ke kamar dan mengambil selembar jilbab di gantungan. Warnanya tosca.
“Ini!” Kataku sambil meletakkan di atas bajunya. Mata kami terbelalak begitu melihat warna yang itu. Pas sekali, seperti ikut dipesan satu setelan.
“Wah, pinjam ya” Katanya riang.
Aku mengangguk.
“Aksesorisnya apa ya yang bagus.”
“Ini saja.” Aku menunjuk jam tangan dengan tali besi berukir ala jam Syahrini. Akhir-akhir ini segala hal yang berbau Syahrini memang paling diminati.
Dia melihat ragu.
“Bagus, nih. Coba lihat. Kekurangan kita jadi tertutupi. Keren banget kan?” Kataku memuji. Pujian ini tulus, karena memang benar-benar matching. “Kalau untuk bros, pakai yang besar dan bertaburan batu-batu berlian gitu aja. Lebih manis.”
Esoknya, Wisda datang lagi. Ada dua pesanan lagi melaluiku. Dia tampaknya sangat puas. Pesanan banyak berarti uang labanya juga bertambah. Tapi ia punya misi lain, mengajakku bergabung di bawahnya. Sistem Multi Level Marketing (MLM) memang mudah dikenali jika sudah berbicara soal produk dan bisnis.
“Kakak udah pernah cerita belum ya, kalau kakak sudah didaftar oleh teman sebagai member.” Kataku menjelaskan.
Segurat kecewa terlintas.
“Oh, iya. Jadi kenapa kakak nggak pakai member kakak saja belanjanya?” Tanyanya menyelidik.
“Nggak punya modal untuk nyicilin.”
Aku tersenyum. Dia tertawa saja.
“Gimana kalau gabung Oriflame, Keiza, Taskita” Ia kembali menawarkan.
“Kalau Oriflame, ntar sajalah dek. Pas udah mati keanggotaan yang sama si Asty itu ya”
Ia mengangguk.
Bukan hari itu saja aku diajak bergabung menjadi anggota MLM tertentu. Sudah beberapa kali. Bahkan ada seorang teman yang berdomisili di Singkil mengajakku bergabung di bawah keanggotaannya. Padahal jarak antara Aceh Singkil dan Banda Aceh itu jauh sekali. Butuh jarak tempuh dua hari dua malam untuk ke sana.
Menurut mereka, komunikasi bisnis yang aku jalankan selama ini cukup bagus. Setiap ada penitipan katalog selalu saja ada pemesanan. Mereka tertarik untuk menjadikan aku sebagai omset terbesar mereka. Padahal selama ini aku selalu kurang dalam pencapaian point untuk meningkatkan levelku sendiri.
Aku punya kelemahan takut dalam merekrut dan menawarkan. Aku snagat benci jika diajak untuk ikut seminar perekrutan dan penawaran produk tersebut. Aku akan marah-marah. Terpikir olehku, hal yang sama juga akan dilakukan oleh temanku jika aku memang mengajak mereka dengan caraku.
Hal ini aku lakukan lebih bisa disebut aplikasi terhadap mata kuliah asuhanku, Komunikasi Bisnis. Kurikulum yang aku ajarkan di sana lebih banyak cara berkomunikasi secara bisnis dengan relasi. sehingga perusahaan mendapatkan umpan balik dengan hasil yang memuaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar