Best views

Sabtu, 17 Desember 2011

High Heel Hitam


Kakak, besok aja kita ke pasar cari sepatu ya. Soalnya hari ini Ayah datang dari Takengon.
Begitu sms yang masuk ke inbox-ku beberapa hari yang lalu. Sebenarnya cerita ini pun ingin kubagi beberapa hari yang lalu. Tapi kesibukanku memang tak bisa ditolerir, sehingga cerita ini baru bisa aku tulis hari ini, 15  Desember 2011.
Sms itu dikirim oleh sepepuku, Alyani Maulida. Status sepupu kami cukup dekat. Ayahnya adik ayahku. Bisa dikatakan wali.
Sebelumnya kami memang berencana membeli higheel. Mungkin saja tidak bisa disebut higheels, sejauh ini aku masih tidak mahir memakai hak tinggi. Untuk mengajar, aku biasanya menggunakan wedges, orang-orang di kotaku menyebutnya hak sampan. Bukan wedges. Aku sendiri mengetahui nama itu dari sebuah majalah yang memuat fashion.
Rencana belanja sepatu itu tertunda. Bagiku tidak masalah, aku masih punya sepatu dua lagi. Satu haknya hanya tiga senti. Tidak nyaman sekali bepergian dengan hak seperti itu. apalagi dengan ukuran besar sedikit. Ukuran kakiku 36 kecil, seringnya dapat 36 besar. Belum lagi sepatu yang hak tiga senti itu besarnya 37. Sudah di sol pun masih saja kebesaran. Sepatu satunya hak lima senti. Lumayan cantik. Aku beli di pasar Ulee Kareng awal Juli 2010, menjelang sidang munaqasyah. Sepatu itulah yang biasanya aku pakai ke kampus untuk mengajar. Walaupun penampilanku kalah dengan mahasiswi di sana yang memang modis dan terndy, tapi tak mengapalah.
Selasa pagi, dengan semangat aku hendak mengambil sepatu itu dan mencucinya. Betapa terkejutnya aku saat melihat hak wedgesku sudah terlepas dari tempat semestinya.aku hampir memangis, tap takut dibilang cengeng. Ingin menyalahkan, tidak ada yang bisa disalahkan. Aku sendiir yang lupa memasukkan sepatu ke dalam dan menempatkan di gantungan sepatu.
Detik itu juga aku mengirim sms untuk Alya, sepupuku. Dek, siang ini jadi ya. Kita beli sepatu. Ternyata sepatu kakak itu asli rusah. Hiks!
Kirim.
Biasanya kata hiks di ujung kalimat melunakkan hati siapapun. Termasuk untuk Mamakku ketika mengatakan tidak ada duit. Dalam minggu itu aku sudah mendapatkan sms ‘Uang udah mamak kirim’.
Benar saja. Tidak menunggu seharian untuk menerima sms adikku itu. dia sudah menulis balasan ‘Iya kak. Jam-jam dua kita pergi ya’.
Nah!
Sampai di pasar. Kami tidak naik ke Shopping Center lantai dua tempat sepatu murah seperti biasa. Kami melangkah ke toko pernak-pernik untuk cuci mata. Awalnya kami berencana menunggu magrib dan menggeledah penjual sepatu kaki lima yang koleksinya keren. Sampai di sana aku malah tertarik pada wadges yang bahannya seperti goni.
Atas saran Alya dan seorang teman di PMI yang aku temui di sana. Aku memilih satu. Wadges warna krem yang elegan. Ukurannya 36, pas di kakiku. Apalagi kalau ditambah kaos kaki. Harganya juga cukup terjangkau. 44 ribu. Tapi jangan tanya merek. Sepatu ini tidak bermerek, yang penting cukup nyaman di kakiku.
Menjelang magrib, aku dan Alya pulang dengan senyum kepuasan. Pertanyaan Alya yang terus terngiang di telingaku, “Kak, apa mereka nggak salah tulis harga ya?” Tanyanya. Aku baru sadar. 44 Ribu bukan harga yang mahal untuk Alya. Meskipun aku sendiri berharap bisa menawar lebih murah lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar